Thursday, October 7, 2010

SS-Obersturmbannführer Heinz von Westernhagen (1911-1945), Ksatria Pejuang Leibstandarte!



Lukisan Heinz von Westernhagen oleh Anna Swowoda


Heinz von Westernhagen sebagai SS-Sturmbannführer (Mayor) dengan medali-medali sebagai berikut: Eisernes Kreuz (I & II klasse), Ost Medaille, Panzerkampfabzeichen dan Verwundetenabzeichen. Meskipun dia memimpin unit Panzer Berat (Schwere Panzer Abteilung) paling sukses dalam Perang Dunia II, tapi anehnya medali tertinggi yang diraihnya "hanyalah" Eiserne Kreuz I klasse. Jangan dulu Ritterkreuz, Deutsches Kreuz in Gold pun dia nggak dapet! Apa mungkin ini disebabkan oleh sikapnya yang kritis terhadap Partai Nazi? Kalau iya, ini bisa menjelaskan juga perihal pemecatan dirinya yang kemudian berujung pada kematiannya yang tragis!



SS-Obergruppenführer Sepp Dietrich dalam acara penganugerahan medali untuk unit Sturmgeschütz-Abteilung dari Divisi Leibstandarte SS Adolf Hitler di Taganrog tanggal 21 Maret 1942. Dari kiri ke kanan: Heinz von Westernhagen, Karl-Heinz Prinz, Wolfgang Rabe, Sepp Dietrich, Emil Wiesemann, Max Wünsche, Karl Rettlinger, dan ??? (ada yang tahu namanya? Mungkin Udin Petot atau Edi Tansil: Ejakulasi dini tanpa hasil?)


SS-Sturmbannführer Jochen Peiper bersama dengan ajudannya SS-Obersturmführer Otto Dinse (duduk) dan SS-Sturmbannführer Heinz von Westernhagen, bulan Februari-Maret 1943. Mereka sedang mengusir dinginnya Front Timur dengan sebotol Topi Miring eh Hennesy


SS-Sturmbannführer Jochen Peiper (komandan III./Panzergrenadier-Regiment 2) bersama dengan SS-Standartenführer Fritz Witt (komandan Panzergrenadier-Regiment LSSAH) di jalanan Kharkov tak lama setelah direbut dari tangan Rusia, Maret 1943. Di belakang mereka adalah SS-Sturmbannführer Heinz von Westernhagen (komandan unit self-propelled guns LSSAH)


SS-Sturmbannführer Heinz von Westernhagen (kanan) di Kharkov tahun 1943. Ada yang mengatakan bahwa orang di kiri yang memakai kacamata hitam adalah Jochen Peiper, tapihal tersebut adalah salah meskipun sampai saat ini tidak diketahui siapa yang menemani Von Westernhagen dalam foto ini


 Para komandan unit dari SS-Panzergrenadier-Division "Leibstandarte SS Adolf Hitler" sedang berbincang-bincang. Mengelilingi meja, dari kiri ke kanan: SS-Sturmbannführer Heinz von Westernhagen (Kommandeur SS-Sturmgeschütz-Abteilung 1 LSSAH), SS-Obersturmbannführer Georg Schönberger (Kommandeur SS-Panzer-regiment 1 LSSAH), SS-Sturmbannführer Rudolf Sandig (Kommandeur II.Bataillon / SS-Panzergrenadier-Regiment 2 LSSAH), SS-Standartenführer Theodor "Teddy" Wisch (Kommandeur SS-Panzergrenadier-Regiment 2 LSSAH), SS-Obergruppenführer und General der Waffen-SS Josef "Sepp" Dietrich (Kommandeur SS-Panzergrenadier-Division LSSAH), dan SS-Oberführer Walter Staudinger (membelakangi kamera, Kommandeur SS-Artillerie-Regiment 1 LSSAH)



Para perwira dari Leibstandarte SS Adolf Hitler. Baris pertama dari kiri ke kanan: SS-Brigadeführer Kurt 'Panzermeyer' Meyer, SS-Oberstgruppenführer Josef 'Sepp' Dietrich dan SS-Hauptsturmführer Hermann Weiser. Baris kedua: SS-Brigadeführer Theodor Wisch, SS-Brigadeführer Hugo Kraas dan SS-Sturmbannführer Albert Frey. Baris belakang: SS-Obersturmbannführer Heinz von Westernhagen, SS-Untersturmführer Alfred Günther dan SS-Standartenführer Rudolf Lehmann. Semua pangkat yang Ogut sebutkan bukanlah pangkat saat foto ini diambil, melainkan pangkat TERAKHIR mereka!


Para perwira dari Schwere SS Panzer-Abteilung 101. Dari kiri ke kanan: SS-Obersturmführer Jürgen Wessel, SS-Hauptsturmführer Michael Wittmann (tertutup oleh Wessel), SS-Sturmbannführer Heinz von Westernhagen, SS-Obersturmführer Hanno Raasch dan SS-Untersturmführer Willi Iriohn. Sebenarnya masih ada satu lagi yang paling kanan tapi sialnya tidak tertangkap kamera, yaitu SS-Unterscharführer Otto Blase


Para perwira dari Schwere SS Panzer-Abteilung 101 di Prancis tahun 1944 


SS-Obersturmführer Michael Wittmann (Chef 2.Kompanie/s.SS-Pz.Abt.101) dan SS-Obersturmbannführer Heinz "Hein" von Westernhagen (Kommandeur schwere SS-Panzer-Abteilung 101) tak lama setelah Pertempuran Villers-Bocage bulan Juni 1944. Nantinya Wittmann akan menggantikan Westernhagen sebagai komandan s.SS-Pz.Abt.101 tanggal 10 Juli 1944 setelah Westernhagen menderita luka serius di kepala. Sebagai komandan kompi ke-2 menggantikan Wittmann ditunjuk SS-Obersturmführer Helmut “Bubi” Wendorff



Berbeda dengan biografi lainnya, kali ini saya ingin mengetengahkan sebuah obituari SS-Obersturmbannführer Heinz von Westernhagen (komandan 501. SS-Schwere-Panzerabteilung) karangan Wilhelm Kiesselbach yang masih mempunyai hubungan darah dengannya:

Bagaimanakah kita dapat menangkap intisari kehidupan dari orang yang telah lama tiada? Bagaimanakah kita memberikan penghormatan kepada seseorang yang mempunyai kehormatan, integritas, patriotisme, keberanian yang mengagumkan dan komitmen tanpa perlu menulis satu buku penuh? Kisah tragis Heinz von Westernhagen, seperti kisah banyak lagi rekan seperjuangannya yang lain, patut untuk diketengahkan.

Kenapa harus menulis efitaf (tulisan di batu nisan) untuknya sekarang, dan bukannya di masa yang telah lalu? Alasannya: sebuah e-mail sederhana dari seorang sejarawan Amerika membuatku berkeinginan untuk meluruskan sejarah seperti apa adanya. Aku ingin agar perjuangan hidup, penderitaan dan kesakitan yang dialami oleh Heinz dan juga adiknya Rolf bisa dipahami dan dihargai seperti selayaknya. Juga kesetiaan mereka yang luar biasa terhadap tugas dan rekan-rekannya, serta misteri di balik meninggalnya Heinz yang tragis.

Alasan lain di balik keputusanku: sebuah buku terbitan tahun 1965 berjudul “Children of the Perpetrators” (Anak-Anak Dari Pelaku Kejahatan) karya anak perempuannya Doerte (yang tak pernah mengenal ayahnya). Doerte telah menghabiskan waktu selama bertahun-tahun melakukan penelitian dengan motif yang tak diketahui akan kehidupan pribadi dan karir ayahnya demi satu tujuan: melihat keterlibatan Heinz dalam kasus-kasus kriminal Third Reich yang dilakukan terhadap kaum Yahudi, Gipsi, Sosialis dan yang lainnya. Sesungguhnyalah, dia tidak mengetahui manusia seperti apa ayahnya. Dengan penuh perasaan benci dia telah salah menginterpretasikan surat ayahnya kepada saudaranya Harald, serta mengutip pernyataan-pernyataan para psikiatris dan “ahli-ahli” lainnya tanpa diperiksa terlebih dahulu kebenarannya. Ketika seharusnya dia merasa bangga, dia merasa malu; ketika seharusnya dia menghargai, dia menghakimi; ketika seharusnya dia mengerti, dia seenaknya memberikan penafsiran yang salah atas kehidupan serta kematian ayahnya. Dia benar-benar tidak menghargai orang yang telah mewarisinya darahnya. Untung saja, dengan sedikit keberuntungan, buku “Children 0f the Perpetrators” kini tidak lagi diterbitkan.

Ayahnya tak pernah mempunyai kesempatan untuk berbicara sendiri, dan aku ingin melakukannya untuk dia. Siapapun kita, yang sedang dan pernah menjadi prajurit, akan mengerti bahwa keberanian, kesetiaan, dan pengembanan tugas betapapun sulitnya adalah sesuatu yang benar-benar harus dihargai dan melebihi batas-batas politik.

Seperti semua orang Jerman lain di zamannya, Heinz maupun saudaranya Rolf tak pernah mempunyai kesempatan untuk memilih. Takdir, perkembangan politik di Eropa, dan waktu telah memberi pengaruh besar kepada mereka. Apapun jalan yang mereka kemudian pilih, mereka tetaplah manusia terhormat karena telah melakukan yang terbaik dalam setiap upayanya. Untuk mengerti ini, orang sebaiknya mengetahui fakta-fakta dasar di bawah ini:

Heinz Otto Alexander von Westernhagen memulai babak awal dari kehidupannya yang berakhir tragis di Riga, Latvia, tanggal 29 Agustus 1911 sebagai anak keempat dari seorang dokter gigi Jerman yang sukses dan keluarga kelas menengah yang nyaman. Rolf adalah adik termudanya. Pada musim dingin tahun 1914-1915 semua keturunan Jerman diperintahkan untuk meninggalkan Riga dalam waktu 3 hari atau dideportasi ke Siberia. Keluarga Von Westernhagen meninggalkan semua yang mereka miliki dan melarikan diri melalui Finlandia, Swedia lalu ke Jerman. Mereka tetap berharap bahwa suatu saat mereka akan kembali “pulang” ke rumah mereka di Latvia.

Pada tahun 1917, tepat sebelum revolusi Komunis Rusia, hari yang dinantikan akhirnya tiba. Von Westernhagen dan keluarganya kembali ke Riga dengan harapan dapat membangun kembali kehidupan mereka seperti dulu. Mimpi itu hanya berlangsung singkat: pada tahun 1918 setelah berakhirnya Perang Dunia I, sebagai bagian dari Perjanjian Versailles maka semua provinsi Baltik dikembalikan ke Rusia. Pada bulan Januari 1919 kaum Bolsewik menduduki Riga dan memulai pemerintahan teror mereka yang berlangsung selama 5 bulan: pemerkosaan, penjarahan, dan pembunuhan beribu-ribu orang. Dalam Perang Saudara yang kemudian pecah, para milisi Baltik dengan dibantu oleh anggota-anggota Freikorps Jerman membebaskan Riga di bulan Mei 1919. tapi keluarga Von Westernhagen sendiri begitu takut kalau kaum Bolsewik akan kembali dan melakukan pembalasan dendam, sehingga mereka bersama dengan 3.000 orang lainnya meninggalkan Latvia dengan tujuan Jerman pada bulan Juli 1919. saat ini kepergian mereka bukan lagi sementara tapi untuk selamanya.

Tahun-tahun yang menyusul selanjutnya adalah tahun-tahun penuh kesengsaraan, kelaparan dan tanpa harapan bagi berjuta-juta rakyat Jerman. Catatan harian ayah Heinz secara jelas menerangkan bahwa tahun antara 1919 dan 1931 adalah waktu dimana penderitaan yang tak tertanggungkan mendera mereka: tak ada pasien yang datang, tak ada makanan, tak ada uang, tak ada harapan untuk melanjutkan hidup, dan keputusasaan yang seakan tak berakhir. Pada tahun 1931, di usianya yang ke-15 tahun, adik Heinz (yang sekaligus juga adalah ibuku) pergi. Dia menemukan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Hamburg. Heinz sendiri berhasil menyelesaikan sekolahnya dan, di tengah ketiadaan kesempatan, pada tahun 1927 dia bergabung sebagai pelaut niaga Jerman di usianya yang ke-16. Setelah berkali-kali pergi melaut selama 6 tahun, dia memutuskan untuk tinggal dan bekerja di daratan saja (dari saat pekerjaannya sebagai pedagang samudera, dia telah menulis beberapa artikel yang kemudian dipublikasikan yang memperlihatkan sensifitas dan kelancaran bercerita yang mengagumkan). Kini dia menemukan dirinya sebagai seorang pengangguran, dan tak lama kemudian bergabung dengan organisasi SA dari partai NSDAP karena mereka menawarkan sejumlah pendapatan yang cukup untuk menghidupi dirinya. Pada tahun 1933-1934 dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik karet. Dia kemudian dipindahkan ke SS pada tahun 1934 dan ditugaskan di unit cadangan. Keanggotaan Heinz diaktifkan kembali tahun 1935.

Setelah mengikuti sejumlah pelatihan dan kursus, Heinz ditugaskan ke “Sicherheitsdienst” (SD). Meskipun Heinz begitu kecewa karena ditempatkan di satuan yang tidak dia sukai, tapi dia terpaksa menurut saja. Kemungkinan besar para petinggi SS menempatkannya disana karena menganggap bahwa pengalamannya selama ini sebagai pelaut dapat menjadi modal yang sangat berharga bagi organisasi mata-mata di dalam tubuh Nazi tersebut, sehingga dia pun ditempatkan di bagian kontra-intelijen luar negeri. Heinz benar-benar membenci pekerjaan barunya! Dia ingin menjadi seorang prajurit tempur yang selalu berada di front terdepan, dan dia menjadi malu karenanya. Tidak seperti orang lain yang langsung bersorak ketika ditempatkan di pelayanan intelijen demi menghindari kekerasan dan peperangan, Heinz malah sebaliknya. Jiwa keperwiraannya begitu menyeruak dan berkali-kali dia mengupayakan berbagai cara agar dipindahkan ke unit tempur. Setelah beberapa hambatan yang dia temui (termasuk di antaranya pemberhentian de facto yang dia terima dari keanggotaan aktif SS dan dipindahkan lagi ke unit cadangan), akhirnya dia berhasil mendapatkan apa yang didamba-dambanya selama ini: bergabung di sebuah unit Waffen-SS. Tampaknya para atasannya ada yang bersimpati kepada usaha keras yang dilakukannya tak kenal lelah agar dipindahkan sehingga mereka setuju untuk mengeluarkannya dari status cadangan. Tahunnya adalah tahun 1940.

Dan mulailah karirnya sebagai seorang perwira tempur di 1. SS-Panzer-Division Leibstandarte Adolf Hitler, salah satu dari mesin tempur elit Third Reich. Disini aku tidak akan capek-capek menerangkan perbedaan (yang seringkali tidak diacuhkan dan dianggap sepele) antara SS biasa dengan SS Waffen (Bersenjata). Telah banyak artikel dan buku yang dibuat mengenainya. Tapi perlu ditekankan disini bahwa terdapat perbedaan besar antara unit-unit Waffen SS yang beraneka ragam dalam hal moral, disiplin, tingkah laku, juga keefektifan dalam bertempur.

Heinz von Westernhagen:
1940: 1. SS Armored Division, LSSAH: Komandan kompi – Front Barat (Belanda, Belgia, Prancis).
1941: 1. SS Armored Division, LSSAH: O-1, Batalion Pertama – Balkan, Yunani.
1941: 1. SS Armored Division, LSSAH: Perwira Staff Misi Khusus Pertama – Rusia.
1942/43: 1. SS Armored Division, LSSAH: Komandan, Baterai Senjata Serbu (StuG) – Rusia.

Adik termudanya Rolf kemudian ikut bergabung dari unit artileri “Das Reich” kedalam Baterai Senjata Serbu yang dipimpin oleh Heinz. Selama berlangsungnya Operasi Zitadelle di wilayah Kursk bulan Juli 1943, Heinz menderita luka di kepala yang parah sehingga memaksa ia harus beristirahat total selama 8 bulan.

1944: 1. SS Armored Division, LSSAH: Komandan Batalion, 101. Schwere-SS-Panzerabteilung – Rusia dan Normandia – 6 bulan istirahat total (penyembuhan dari komplikasi di kepalanya yang merupakan sisa luka terdahulu).

Adiknya Rolf bergabung dengan 101. Schwere-SS-Panzerabteilung.

1944/1945: 1. SS Armored Division, LSSAH: Komandan Batalion, 501. Schwere-SS-Panzerabteilung – Ardennes dan Hungaria.

Adiknya tampaknya tak ingin pisah jauh-jauh dari sang kakak tercinta, dan ia pun ikut pindah ke 501. Schwere-SS-Panzerabteilung sebagai komandan peleton. Luka lama di kepala benar-benar membuat Heinz sangat tersiksa. Ingatannya, selera makan dan kebutuhan untuk tidur menurun drastis dan, bisa dikatakan, telah lenyap.

Kronologis hari-perhari dari begitu banyak pertempuran yang diikuti oleh Heinz telah tersedia dalam buku karangan Herr Agte dan Herr Schneider seperti telah disebutkan di atas, juga di beberapa website di jagat internet.

Aku sungguh-sungguh yakin bahwa, di dalam hatinya, Heinz jauh lebih tampak sebagai seorang tentara daripada seorang Nasional-Sosialis. Kesetiaan dan komitmennya pertama-tama ditujukan kepada negaranya, dan kedua kepada rekan-rekan seperjuangannya. Di beberapa kesempatan, dalam pembicaraan dengan teman-teman dekatnya, dia berkata bahwa, “setelah perang ini dimenangkan, kita mempunyai tugas lain di tangan: menghancurkan partai Nazi.” dalam ke-26 surat yang ditujukan untuk saudaranya Harald, tak pernah sekalipun dia menyebutkan tentang partai yang paling berkuasa di Jerman tersebut! Mereka menjadi petunjuk jelas mengenai apa sebenarnya yang memotivasi dia untuk terus berjuang: teror dan penderitaan akibat perang, orang-orang sekarat, juga rasa haus, putus-asa dan dan determinasi yang timbul dari dalam dirinya. Di atas semuanya, mereka mengekspresikan kebenciannya yang luar biasa (juga ketakutannya) akan “gerombolan penyamun Merah” alias Rusia dimana dia merasa berkewajiban untuk melindungi Jerman daripadanya. Dia telah belajar langsung apa yang bisa mereka perbuat dan dia, sama seperti kebanyakan orang Jerman lainnya, telah sangat biasa dengan cerita-cerita tentang kebrutalan yang mereka pertontonkan dalam pertempuran-pertempuran ganas di Front Timur, dan juga di akhir-akhir perang dimana korbannya kini bertambah dengan jutaan pengungsi Jerman yang tak berdaya. Sekali dia pernah menulis: “Ketika ini semua berakhir, kita akan tersungkur bagaikan karung kentang kosong.” Aku percaya bahwa, dalam tahap ini, kesetiaan yang dia pegang teguh pertama-tama ditujukan pada orang-orang yang berada di bawah perintahnya. Dan dengan melihat situasi saat itu, tak ada lagi yang lebih mulia selain soal tersebut. Situasi yang memburuk ini diperparah lagi dengan kelelahan luar biasa fisik dan emosionalnya.

Apa yang terjadi pada akhir dari kehidupannya patut untuk diceritakan dan, menurut pendapatku, telah mewakili peninggalannya yang terakhir. Sebelumnya aku tidak pernah mengetahui sama sekali sampai sekitar setahun yang lalu ketika seorang sejarawan militer Amerika mengirim e-mail padaku dan memberitahukan bahwa hidup Heinz tidaklah berakhir oleh sebuah bom Rusia kecil seperti yang telah aku ketahui dari versi resmi selama ini. Berdasarkan penuturannya, Heinz telah menembak dirinya sendiri setelah diberhentikan dari jabatannya. Meskipun informasi tersebut sungguh mengejutkan, tapi ia pada dasarnya masuk di akal. Berita itu juga begitu dalam mempengaruhiku karena ia bagaikan sebuah tanda titik penghabisan kesia-siaan dari orang yang, bukan hanya telah memberikan segalanya, tapi juga merupakan salah satu dari yang terbaik, paling dihargai dan heroik. Agte dalam bukunya “Michael Wittman and the Tiger Commanders of the Leibstandarte” telah mengeluarkan versi bom sebagai penyebab dari kematian Westernhagen. Ketika aku menanyakan masalah tersebut lebih lanjut, dia beralasan karena itulah satu-satunya cerita yang ia tahu mengenai kematian dari sang komandan batalion dan ia tidak pernah mendengar yang lainnya. Wolfgang Schneider di pihak lain, dalam bukunya “Tigers in Combat II” telah mengungkapkan fakta yang sebenarnya: “20 Maret 1945, Westernhagen (yang telah begitu kepayahan karena sakit yang dideritanya) telah diberhentikan dari jabatannya sebagai komandan batalion. Selama upacara sederhana penyerahan komando, terjadi serangan udara oleh musuh. Berdasarkan pernyataan resmi, Obersturmbannführer von Weternhagen terbunuh oleh sebuah bom yang dijatuhkan pesawat-pesawat tersebut; tapi dalam kenyataannya, dia menembak dirinya sendiri dengan pistol (saat itu dia berusia 34 tahun). Sturmbannführer Heinz Kling segera ditunjuk sebagai komandan yang baru.” – Referensi: Schneider.

Ketika aku menulis kepada Herr Schneider, dia mengutip dua orang saksimata beserta dengan namanya. Sayangnya kini mereka berdua telah meninggal dunia. Tapi aku tetap mempercayai ceritanya. Sementara Agte dikenal sebagai “sejarawan tidak resmi” dari Leibstandarte, Schneider merupakan sejarawan yang selalu berpegang teguh pada kebenaran sejarah. Menurut pendapat pribadiku, kisah bom yang “payah” ini telah menghilangkan arti sebenarnya dari Heinz von Westernhagen sebagai seorang manusia dan prajurit, dan dia seharusnya mendapatkan lebih!

“SS-Obersturmbannführer Heinz von Weternhagen menerima perintah yang mengejutkan untuk meninggalkan batalion Tigernya dan menjadi perwira cadangan. Dengan berat hati dia dipaksa untuk menyerahkan batalion yang telah dia pimpin dengan sepenuh hati dan menjadi unit paling sukses di kelasnya. Para staff dan anakbuahnya juga sungguh-sungguh tidak mempercayai kabar ini, dan mereka mau tidak mau menerimanya dengan kegetiran belaka.” – Referensi: Agte.

Latar belakang dan kejadian di sekitar pemberhentian Heinz tak pernah diketahui dan, menurut pendapatku, patutlah untuk dipertanyakan. Mengapa? Secara luas dia dikenal sebagai komandan tempur superb dan seorang pemimpin yang menakjubkan. Jangan dilupakan pula bahwa selama kepemimpinannya, unit tank berat Leibstandarte telah menjelma menjadi salah satu unit yang paling ditakuti oleh musuh karena keefektifan dan kemampuannya yang mengerikan dalam menghancurkan setiap lawan yang menghadang (untuk hal ini, tidak usahlah aku yang bicara. Bacalah dari berbagai sumber dan kau akan mengetahui bahwa tak ada keraguan dari siapapun kalau 101/501 Schwere-SS-Panzerabteilung merupakan unit tempur paling tangguh dalam Perang Dunia II, dan semuanya sebagian besar merupakan sumbangsih dari sang pemimpin yang sangat dicintai, von Westernhagen). Hal lain yang membuatku bertanya-tanya: saat itu Rusia sedang sibuk-sibuknya menyerang tanpa henti, dan tak ada lagi waktu yang lebih buruk untuk mengganti seorang komandan tanpa cela selain dari saat tersebut! Dia diberhentikan ketika sedang sibuk memimpin anakbuahnya menghadapi musuh. Benar-benar tidak masuk diakal – kecuali kalau kesetiaan Heinz pada anakbuahnya jauh melebihi kesetiaan “yang diwajibkan” kepada “Seribu Tahun Reich”.

Tapi aku juga tak bisa memastikan, karena bisa juga penyebab dari bunuh dirinya adalah sakit kepala berat yang sering dialaminya dari sejak terluka di Kursk – dan tak tertutup kemungkinan lainnya persoalan keluarga yang dihadapinya di rumah. Apakah telah timbul keraguan dari dalam hatinya dan dia mulai menolak pengorbanan sia-sia dari anakbuah yang sangat dicintainya? Aku yakin, bukanlah peluru yang telah membunuhnya. Yang telah membuat hidupnya berakhir adalah kehormatan dan komitmennya kepada para manusia yang telah mengikutinya dengan setia selama tahun-tahun bagaikan neraka di berbagai medan pertempuran. Ketika dia dipaksa untuk meninggalkan mereka pada waktu terberatnya, tentu saja beban itu menjadi sungguh tak tertanggungkan dan tak bisa diterima bagi seorang manusia dengan jiwa prajurit di dalam dan di luarnya ini. Kesetiaannya yang terutama adalah pada kehormatannya (Meine ehre heisst treue) dan tak lagi disisakannya untuk yang lain.

Apapun yang sesungguhnya terjadi, telah jelas bahwa ada beberapa alasan bagus untuk menyembunyikan kenyataan sebenarnya: Pertama-tama, sebuah upaya perlu dilakukan agar jangan sampai anakbuahnya mengetahui nasib tragis yang telah menimpa komandan yang sangat mereka cintai. Mereka baru saja kehilangan seorang pemimpin yang menyertai mereka dari awal sehingga moral bertempurnya dipastikan telah menurun. Tak usahlah lagi ditambah dengan berita yang lebih menyedihkan tentang kematiannya. Dalam situasi yang begitu berat seperti saat itu, konsekwensi dari kemungkinan mereka mengetahui berita yang sesungguhnya dapat sangat menghancurkan (cukuplah aku mengungkapkan sebuah fakta bahwa tak lama setelahnya, ketika waktu untuk menyerah telah tiba, Jochen Peiper berbicara kepada mereka dan terutama menekankan bahwa bunuh diri bukanlah pilihan yang kemudian harus diambil karena “negara masih membutuhkan tenaga dari putra-putranya yang terbaik”). Kedua, tindakan yang diambil oleh Westernhagen pada saat itu bisa disimpulkan sebagai defeatisme dalam bentuknya yang terburuk sehingga aku berkeyakinan bahwa orang-orang yang mengetahui kabar sebenarnya berusaha sebisa mungkin untuk menutupi kenyataan demi melindungi Litty, istrinya yang sedang hamil. Tapi tetap saja mereka tak dapat membuat kisah yang “pantas” untuk menutupinya. Rolf, saudara tercintanya, menerangkan kepadaku bahwa dia selalu menganggap kalau “kisah bom” benar-benar kisah konyol yang dibuat-dibuat (dia malah menganggap lebih masuk akal kalau cerita yang diketengahkan adalah bahwa Heinz ditembak oleh salah seorang fanatik Nazi yang masih berkeliaran saat ini!). lebih jauh lagi, anak Heinz yaitu Heiner mengatakan kepadaku bahwa dia tidak pernah mendengar versi kematian ayahnya yang itu. Selama ini dia selalu dibilang bahwa ayahnya mati karena peluru dari sniper Rusia! Aku sendiri sepenuhnya percaya bahwa yang lebih nyata adalah versi kematiannya akibat dari bunuh diri. Masuk diakal karena Heinz telah memberikan segala yang dia punya. Dia telah berakhir, secara emosional dan fisik. Luka kepala yang luar biasa yang dia terima sewaktu memegang komando unit senjata penyerbu sewaktu di Kursk benar-benar telah membuatnya menderita. Rolf berkata kepadaku bahwa dalam bulan-bulan terakhir peperangan, Heinz harus diterbangkan secara rutin ke rumah sakit Berlin untuk menjalani perawatan. Dia tak dapat lagi tidur dengan nyenyak dan tak punya selera untuk apapun – tak ada lagi yang tersisa dari manusia ini... dan tetap saja, dia memaksakan diri untuk memimpin anakbuahnya dalam perang yang dia tahu persis tak akan berakhir dengan kemenangan. Dalam situasi seperti ini, dan juga dengan mempertimbangkan rasa tanggungjawab besar yang diembannya, konsekwensi akhir yang kemudian timbul tak perlu lagi dipertanyakan.

Heinz von Westernhagen adalah manusia berani sekaligus jujur yang harus diingat dengan penuh kehormatan, cinta dan pengertian. Dalam waktu dan keadaan yang berbeda dia akan menjadi seorang pahlawan. Dan dia adalah salah satu pahlawanku!

Rolf von Westernhagen, adik termudanya, adalah anggota “setia” yang selalu mengikuti setiap pertempuran yang dijalani oleh kakaknya. Pada tahun 1945 setelah kegagalan ofensif Ardennes, Rolf dikirim untuk mengikuti pelatihan perwira. Dia tidak berada bersama unitnya saat Heinz menemui akhir kehidupannya. Dia berkata kepadaku bahwa dia tidak akan pernah pergi bila tahu apa yang akan terjadi. Kemudian Rolf dan banyak rekan seperjuangannya menyerahkan diri kepada pasukan Amerika yang, meskipun telah memberikan jaminan sebelumnya, tetap menyerahkan mereka kembali ke tangan Rusia. Bisa dikatakan bahwa menjadi tawanan Rusia adalah mimpi terburuk setiap prajurit Jerman, lebih-lebih lagi anggota Waffen-SS yang biasanya diperlakukan dengan brutal. Yang membuat keadaan tambah buruk, Rolf membawa juga nama terakhir kakaknya, nama yang sangat terkenal di kalangan pasukan Rusia yang berkali-kali mendapati pasukannya hancur atau upaya gerak majunya tertahan gara-gara kegigihan seorang Heinz von Westernhagen. Rolf menghabiskan waktu 11 tahun di Siberia sebagai tawanan perang Rusia dalam kondisi tak terbayangkan yang lebih mirip neraka. Dia akhirnya dibebaskan pula setelah Kanselir Jerman Dr. Konrad Adenauer secara pribadi pergi ke Moskow pada tahun 1956 dengan membawa petisi pribadi untuk meminta pembebasan tawanan perang Jerman yang masih tersisa.

Sebuah intisari bisa kita ambil: Heinz dan Rolf adalah orang-orang yang sederhana sekaligus berani yang telah ikut ambil bagian dalam perang yang brutal dan begitu buruknya, seperti juga orang-orang lain yang telah menjalani perang yang sama mengerikan dan brutal selama berabad-abad sebelum mereka. Mereka menderita dan mati seperti juga yang terjadi sebelumnya, hanya untuk difitnah dan dijelek-jelekkan oleh pihak pemenang setelah perang berakhir. Karena itulah kisah mereka pantas untuk diketengahkan, keberanian dan pengorbanan mereka patut untuk dikedepankan, juga visi pribadi, kemampuan untuk menjalankan perintah apapun kondisinya dan kesetiaan tak berujung pada rekan-rekan seperjuangannya.


Sedikit mengenai diriku: Namaku adalah Wilhelm Kiesselbach, dan ibuku adalah saudara perempuan Heinz. Dia biasa datang dan berkunjung, sementara kami pun mencintai dan menghormatinya dengan sepenuh hati. Bahkan ayahku sendiri, yang membenci Nazi dan merupakan seorang perwira di Angkatan darat Jerman, menyayanginya dengan tulus. Di masa damai, ayahku adalah seorang pengacara dan pernah berpartisipasi sebagai prajurit dalam dua Perang Dunia. Dia dan keluarganya tidak ingin ikut terlibat dalam Nasional-Sosialisme. Kakekku, yang merupakan Hakim Kepala dalam Pengadilan Tinggi di Hamburg, telah diberhentikan dari jabatannya oleh Hitler karena alasan tersebut. Setelah perang, di usia 85 tahun, dia dipanggil kembali dan didudukkan dalam posisi sebagai Kepala Pengadilan untuk membantu pembentukan sistem yudisial di wilayah Jerman yang diduduki Inggris. Aku berimigrasi ke Amerika Serikat dan pernah menjadi anggota Angkatan Bersenjatanya, ikut berpartisipasi dalam Perang Vietnam dan mengabdi kepada negara baruku dengan dedikasi yang sama seperti halnya kedua pamanku Heinz dan Rolf. Tapi tetap saja aku tak dapat membayangkan penderitaan seperti bagaimana yang telah mereka tanggung, dan karenanya aku luar biasa bangga dan begitu dalam menghormati mereka. Aku tahu persis manusia-manusia seperti apa mereka, dan aku telah bertemu manusia-manusia seperti mereka dengan seragam yang berbeda. Para ksatria pejuang adalah suatu hal yang langka, dan mereka juga banyak dari rekan seperjuangannya termasuk ke dalam golongan tersebut. Aku bangga mempunyai hubungan dengannya.


Sumber :
www.achtungpanzer.com
www.forum.axishistory.com
www.kaskus.us

1 comment:

Anonymous said...

Hallo! Could you tell me please where did you get the 3rd foto from?
(I mean this one http://1.bp.blogspot.com/_p3Q0eKo0OeI/TK3mIcKAgTI/AAAAAAAAL6s/Ax-roEUKF4o/s1600/Westernhagen+%28R%29+in+Kharkov+1943.jpg)
I've never seen it before and it seems to be a very rare foto 'cos I'm searching for the Westernhagen's fotos for a long time and I've never come across it. Are sure that's him?
By the way, I'm building a site about Heinz von Westernhage
http://vonwesternhagen.narod.ru/
)))))
If you've got some intresting information ot fotos please mail me ulovka.88@gmail.com